Pura
Luhur Uluwatu
Tempat Pemujaan Dewa Rudra
Pura ini berada di wilayah Desa
Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung -- dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km.
Pura Uluwatu terletak pada
ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan kecil
yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura.
Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura
pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu
yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura
Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura
Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura
Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia
setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa
Rudra.
Bagaimana sejarah berdirinya pura
ini?
Untuk bisa sampai pada jabaan pura,
kita mesti menaiki anak tangga. Pada jabaan pura terdapat bangunan sedahan
pengapit, bale kulkul, bale murda dan bale sakenem. Dari jabaan menuju jaba
tengah kita melewati candi bentar berbentuk sayap burung yang melengkung. Untuk
mencapai jeroan pura, kita melewati candi kurung yang memakai dwarapala yang
berbentuk arca Ganesha. Pada utama mandala pura terdapat prasada dan palinggih
berupa Meru Tumpang Tiga, palinggih tajuk, piasan catur pandaka. Pada bagian
kiri dari jabaan Pura Luhur Uluwatu terdapat Pura Dalem Jurit (Bejurit)
terdapat antara lain prasada, tempat moksanya Danghyang Dwijendra berdampingan
dengan monumen berupa dua buah perahu yang dipakai berlayar sewaktu datang ke
Pulau Bali.
Bangunan lain di Pura Dalem
Jurit adalah gedong tumpang dua, paibon, sedahan pengapit dan bale asta rsi. Di
sekitar lokasi Pura Luhur Uluwatu juga dihuni kera
Sejarah Luhur Uluwatu
Dalam beberapa sumber disebutkan,
sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke Pulau Bali seorang purohita, sastrawan
dan rohaniwan bernama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang
pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur.
Danghyang Dwijendra pada waktu
walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha, Jawa
Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan di-diksa oleh mertuanya. Danghyang
Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.
Setelah di-diksa, Danghyang Dwijendra
diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon.
Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang
sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di
Pulau Bali. Bila dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak
dan Sumbawa.
Danghyang Dwijendra datang ke Pulau
Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah
Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra.
Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut
pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup
dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak
dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan
penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama
Purancak.
Setelah mengadakan dharmayatra ke
Pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan
Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah
bebukitan.
Setelah beberapa saat tinggal di
sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali
amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat
(icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah
sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi
Cengiling sampai sekarang.
Oleh karena itulah, Ida Pedanda
Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk
melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau
berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura
yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu
berlokasi di Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk
mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh
karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena
swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di
daerah Sasak dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah
pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini
berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum
juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian
tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya
sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu
Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama
moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga,
akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari
terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan
berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan
sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka
keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut
Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai
sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian
beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan
detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama
Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas
menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat
untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di
tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan
(parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu.
Mendekati detik-detik akhir untuk
parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih
dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura
Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan
diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau
Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah
permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas
batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan
laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu
berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama
moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke
Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang
Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada
istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas,
Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat
kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang
Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar
di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem
Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika,
laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama
moksha.
Demikianlah, sejak Danghyang
Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau
disebut Ngaluhur Uluwatu, pura ini disebut Luhur Uluwatu. *(lebih lengkap kunjungi agamahindu.website123.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar